BIREUN – Yayasan Geutanyoe minta para pihak yang terkait untuk secepatnya mengambil tindakan penyelamatan darurat terhadap etnis Rohingya yang terdampar di Laut Bireun, hal ini demi rasa kemanusiaan.
Penyelamatan darurat itu sudah diatur dalam Perpres 125 tahun 2016, terlepas dari berbagai kekurangan yang terkandung dalam Perpres tersebut.
Namun secara jelas telah disebutkan mekanisme penyelamatan darurat untuk pengungsi yang ditemukan dalam keadaan darurat (Pasal 9),” sebut Liasison Officer for Jakarta Yayasan Geutanyoe, Reza Maulana, kepada gentalamedia, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (28/12/2021).
Di samping itu, katanya, koordinasi antar berbagai pihak yang terlibat juga menjadi prioritas, khususnya dalam keadaan darurat seperti ini.
Karenanya,Yayasan Geutanyoe menuntut Implementasi Pasal 9 dari Perpres Nomor: 125 tahun 2016 yang mengatur tindakan darurat yang harus dilakukan oleh pihak terkait.
Kemudian, jika pengungsi yang ditemukan dalam keadaan darurat segera dilakukan tindakan berupa, memindahkan pengungsi ke kapal penolong jika kapal akan tenggelam. Membawa ke pelabuhan atau daratan terdekat jika aspek keselamatan nyawa pengungsi dalam keaadaan terancam
Lalu, mengidentifikasi pengungsi yang membutuhkan bantuan medis gawat darurat dan mnyerahkan orang asing yang diduga pengungsi kepada rumah detensi imigrasi
di pelabuhan atau daratan terdekat
Diceritakannya, bahwa “manusia perahu” itu ditemukan oleh nelayan Aceh disekitar laut
Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh pada Hari Minggu, 26 Desember 2021. Kapal ditemukan
dengan kondisi mesin yang tidak menyala, sedikit terendam air, dan terombang ambing untuk waktu yang belum diketahui. Lokasi kapal tersebut ditemukan di titik koordinat 6239627°.
Kapal tersebut memuat sekitar 120 Orang Manusia, yang terdiri dari 10 Laki-laki, sisanya terdiri dari perempuan dan anak-anak yang sangat membutuhkan bantuan. Mereka diduga warga Rohingya berasal dari Myanmar atau Bangladesh yang selama ini kerap kali terdampar di lautan
Aceh.
Berdasarkan informasi dari nelayan dan Panglima Laot setempat, mengabarkan bahwa sampai kapal berisi manusia tersebut masih berada di laut dan belum didaratkan. Beberapa kapal nelayan Aceh yang berada disekitar lokasi kapal tersebut memberikan bantuan makanan darurat di tengah laut.
Lembaga adat laot, melalui Panglima Laot, dibantu dengan NGO lokal di Aceh terus berupaya untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait untuk mengupayakan penyelamatan darurat bagi para “manusia perahu”.
Lanjutnya, para nelayan dan Panglima Laot menjadi sangat hati-hati dalam mengambil tindakan. Berkaca dari kejadian serupa sebelumnya, para nelayan yang ikut membantu justru dijadikan tersangka dan ditahan sebagai tersangka perdagangan manusia.
“Hal ini menjadi preseden buruk yang memiliki dampak psikologis bagi para nelayan dan Panglima Laot untuk mengambil tindakan
penyelamatan darurat, yang sudah dari dulu menjadi adat lokal,” pungkasnya.
Komentar Pembaca